JAKARTA - Wakil Ketua Komisi I DPR Hanafi Rais menilai TNI perlu dilibatkan dalam pemberantasan terorisme. Diikut sertakannya TNI untuk menutupi kelemahan Polri.
Namun, kata Hanafi, keterlibatan TNI jangan terlalu aktif. TNI, menurut dia, harus dilibatkan dalam pencarian data-data, sementara dalam penindakan tetap diserahkan kepada Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri.
"Polri punya kelebihan tapi juga punya kelemahan. Salah satunya saat menangani terorisme di Poso tidak selesai-selesai," Ujar Hanafi di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (28/6/2016).
"Kami pandang TNI mungkin lebih punya kapasitas yang Polri enggak punya. TNI punya kelebihan tapi perannya enggak bisa lantas dominan," kata dia.
Menurut Hanafi, peran TNI dalam menanggulangi terorisme harus proporsional. Jika persoalan terorisme sudah menyinggung kedaulatan negara, barulah TNI lebih berperan.
"Undang-undang TNI sudah jelas tumpas teorisme, tapi perlu dilihat proporsionalnya, kalau terorisme sudah masalah kedaulatan, maka peran TNI di depan," kata Hanafi.
Hanafi yakin keterlibatan dua lembaga dalam penanganan terorisme tidak akan menimbulkan resitensi di masyarakat. Namun demikian, harus ada pembicaraan antara kedua lembaga tersebut agar tak terjadi benturan atau sengketa penanganan.
"Itu perlu bicara lebih lanjut dengan keduanya. Kalau masing-masing punya satuan sendiri nanti berbagi tugasnya seperti apa," kata dia.
Selain itu, menurut Hanafi, harus dibentuk pasukan khusus dan tim pengawas yang memantau setiap operasi tindak penanganan teroris.
"Saya bayangkan satuan pemberantasan satuannya pasukan gabungan TNI dan Polri. Selama ini kan Densus 88 saja. Nanti ada pasukan khusus, dan yang jelas harus ada tim pengawas," kata Politisi Partai Amanat Nasional (PAN) itu. (sumber)
Namun, kata Hanafi, keterlibatan TNI jangan terlalu aktif. TNI, menurut dia, harus dilibatkan dalam pencarian data-data, sementara dalam penindakan tetap diserahkan kepada Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri.
"Polri punya kelebihan tapi juga punya kelemahan. Salah satunya saat menangani terorisme di Poso tidak selesai-selesai," Ujar Hanafi di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (28/6/2016).
"Kami pandang TNI mungkin lebih punya kapasitas yang Polri enggak punya. TNI punya kelebihan tapi perannya enggak bisa lantas dominan," kata dia.
Menurut Hanafi, peran TNI dalam menanggulangi terorisme harus proporsional. Jika persoalan terorisme sudah menyinggung kedaulatan negara, barulah TNI lebih berperan.
"Undang-undang TNI sudah jelas tumpas teorisme, tapi perlu dilihat proporsionalnya, kalau terorisme sudah masalah kedaulatan, maka peran TNI di depan," kata Hanafi.
Hanafi yakin keterlibatan dua lembaga dalam penanganan terorisme tidak akan menimbulkan resitensi di masyarakat. Namun demikian, harus ada pembicaraan antara kedua lembaga tersebut agar tak terjadi benturan atau sengketa penanganan.
"Itu perlu bicara lebih lanjut dengan keduanya. Kalau masing-masing punya satuan sendiri nanti berbagi tugasnya seperti apa," kata dia.
Selain itu, menurut Hanafi, harus dibentuk pasukan khusus dan tim pengawas yang memantau setiap operasi tindak penanganan teroris.
"Saya bayangkan satuan pemberantasan satuannya pasukan gabungan TNI dan Polri. Selama ini kan Densus 88 saja. Nanti ada pasukan khusus, dan yang jelas harus ada tim pengawas," kata Politisi Partai Amanat Nasional (PAN) itu. (sumber)
Categories:
Nasional