Jakarta - Membaca novel Bekisar Merah karangan Ahmad Tohari yang
berkisah tentang kehidupan para penderes nira kelapa di sebuah desa
bernama Karangsoga seperti membaca kisah nyata para penderes nira di
desa saya.
Ya, harumnya nira kelapa yang terbawa bersamaan dengan kepulan asap dari dapur para perajin gula merah saat memasak air berwarna putih nan manis itu seperti menjadi bagian dari keseharian masyarakat desa kami.
Bunyi kelentang batang-batang bambu tempat nira yang saling beradu saat dibawa penderes menghasilkan irama yang khas bagi saya.
Berbeda dengan nasib para penderes nira dalam novel Ahmad Tohari yang harus pasrah ketika pohon-pohon kelapa tempat mereka menyadap nira ditebangi dan diganti tiang-tiang listrik yang mulai masuk desa.
Di desa kami para penderes nira jumlahnya kian hari kian sedikit karena generasi muda nyaris tidak ada yang tertarik untuk bekerja sebagai pengrajin gula merah.
Resiko yang cukup tinggi saat mengambil nira dari pohon kelapa, dan lamanya proses memasak nira sampai menjadi gula kelapa sepertinya menjadi alasan mengapa tinggal generasi tua yang masih menekuni pekerjaan ini.
Selain itu juga tidak ada jaminan jika terjadi kecelakaan kerja. Tidak sedikit pula masyarakat di sini yang tewas, maupun patah tulang akibat terjatuh dari pohon kelapa.
Geografis dan Sosial Ekonomi
Desa Tanjungsari, Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis, terletak di wilayah perbatasan antara Jawa Barat dan Jawa Tengah. Maka tak heran jika para penduduk di sini menggunakan bahasa jawa dan sunda dalam percakapan sehari-hari.
Mata pencaharian masyarakat di sini bisa dibilang bermacam-macam. Meski sebagian besar memilih untuk bekerja di kota-kota besar terutama generasi mudanya. Yang memilih untuk tetap menekuni pekerjaan di kampung melakukan apa saja asal dapur tetap bisa mengepul.
Namun ketika musim panen tiba, pekerjaan yang biasa dilakukan bisa mereka tanggalkan agar bisa ikut menjadi buruh tani (panen) karena bagi mereka ketika panen tiba tidak hanya menjadi berkah bagi si pemilik sawah namun juga bagi para buruh tani ini.
Maka setiap pagi di pinggiran sawah sudah ramai orang yang menunggu si empunya sawah atau orang yang menjadi kepercayaannya masuk ke sawah dan menjadi tanda bahwa mereka sudah boleh memangkasi batang-batang padi yang sudah merunduk itu.
Bahkan ada yang mulai memotong padi saat matahari belum muncul dan selesai bekerja hingga hampir tengah malam tiba dengan menggunakan lampu penerang patromak. Dari setiap 8 kilo gabah yang didapat, mereka mendapatkan 1 kilo dari pemilik sawah.
Di sini dan mungkin di desa-desa penghasil padi lainnya di Indonesia, padi menjadi barang yang bisa dibilang sangat "liquid", karena saat mereka membutuhkan uang, padi bisa dijual dengan cepat.
Desa kami termasuk desa tertinggal, dari segi infrastruktur jalan desa saja sepanjang saya bisa mengingat baru dua kali mendapat perbaikan aspal.
Desa kami dibentengi oleh pegunungan, maka saya gambarkan saja jika wilayah desa ini memiliki wilayah hulu-hilir. Beruntung bagi saya yang tinggal di hilir tidak terlalu kesulitan menempuh jalan bebatuan jika hendak menuju kota kecamatan.
Namun bagi masyarakat yang tinggal di "gunung" (hulu)—maka bayangkan bagaimana jalan yang terjal penuh bebatuan cadas harus mereka lalui.
Sebab itu tidak heran rata-rata masyarakat "gunung" hanya sebulan sekali saja mengunjungi kota kecamatan untuk berbelanja kebutuhannya.
Saking begitu sulitnya akses, ada semacam sindiran, katanya bagi para pengemudi yang biasa mengendarai kendaran di kota jangan coba-coba menempuh jalan ke sana, walapun mereka begitu mahir berkendara di jalanan kota, belum tentu bisa menaklukan jalan ke sana.
Buku dan Infrastruktur
Ada yang bilang jika pendidikan adalah alat untuk memutus mata rantai kemiskinan. Biaya pendidikan yang tidak murah menjadi perjuangan luar biasa bagi mereka yang berpenghasilan pas-pasan apalagi di kampung yang sangat minim lapangan pekerjaan.
Dengan kondisi demikian, maka tak semua anak desa ini bisa menyelesaikan pendidikan sampai jenjang sekolah menengah atas. Instrumen penting dalam hal transfer ilmu pengetahuan adalah buku.
Banyak survey yang menyajikan data-data mengenai tingkat minat baca masyarakat kita yang rendah. Harga buku yang terbilang mahal bagi masyarakat kita memperparah kondisi ini.
Membayar biaya sekolah saja masih sulit apalagi membeli buku bacaan. Taman bacaan masyarakat adalah wadah di mana anak-anak, remaja usia sekolah juga masyarakat umum bisa mengakses buku dengan gratis.
Sudah lama saya bermimpi jika di desa ini bisa dibangun sebuah taman bacaan masyarakat agar anak-anak dan remaja sebagai generasi penerus memiliki wawasan yang luas dan mampu beradaptasi di tengah tantangan gobal yang semakin ketat.
Harapannya dengan membaca buku anak-anak tidak hanya sekolah, tamat, lalu melamar pekerjaan di pabrik, karena bekerja di pabrik masih menjadi primadona bagi masyarakat di sini. Tetapi buku mampu menggapai hal lain dari sekadar menjadi buruh.
Pengadaan Infrastuktur jalan dan fasilitas pendidikan yang layak serta rumah sakit masih menjadi tantangan terberat negara ini. Sementara jalan menjadi hal vital dalam memenuhi kebutuhan kehidupan masyarakat baik itu dari segi ekonomi, kesehatan maupun pendidikan.
Anak-anak usia sekolah di sini harus "turun gunung" jika hendak ke sekolah, sebab, sekolah yang terdekat teletak di kampung "bawah". Begitu pula dengan akses fasilitas ekonomi seperti pasar yang hanya terletak di kota kecamatan, begitu juga dengan fasilitas kesehatan.
Beberapa bulan lalu ada kabar yang cukup miris karena seorang ibu yang sedang hamil harus melahirkan di perjalanan menuju klinik bidan. Dan ironinya sang bayi yang baru dilahirkan itu nyawanya tidak dapat terselamatkan.
Maka saya pikir seharusnya akses jalan desa ini bisa menjadi perhatian pihak terkait demi terpenuhinya kebutuhan masyarakat. Saya sendiri jadi membayangkan bagaimana begitu sulitnya kehidupan di desa terpencil lainnya di Indonesia.
Beberapa waktu lalu, dalam kunjungannya di Belanda, di hadapan WNI di sana, Presiden Jokowi mengatakan, sedang menggenjot pembangunan infrastruktur secara besar-besaran dan massif dari Aceh hingga Papua.
Semoga inisiatif mulia itu tercapai, dan pada realisasinya tidak ternodai oleh praktik korup sebagaimana kerap terjadi, sebab alih-alih kata "desa" saja yang tertinggal, tetapi kita sebagai sebuah negara!
Astuti
Iluni IAILM, Pondok Pesantren Suryalaya, Tasikmalaya
astutimustaqim07@gmail.com
Ya, harumnya nira kelapa yang terbawa bersamaan dengan kepulan asap dari dapur para perajin gula merah saat memasak air berwarna putih nan manis itu seperti menjadi bagian dari keseharian masyarakat desa kami.
Bunyi kelentang batang-batang bambu tempat nira yang saling beradu saat dibawa penderes menghasilkan irama yang khas bagi saya.
Berbeda dengan nasib para penderes nira dalam novel Ahmad Tohari yang harus pasrah ketika pohon-pohon kelapa tempat mereka menyadap nira ditebangi dan diganti tiang-tiang listrik yang mulai masuk desa.
Di desa kami para penderes nira jumlahnya kian hari kian sedikit karena generasi muda nyaris tidak ada yang tertarik untuk bekerja sebagai pengrajin gula merah.
Resiko yang cukup tinggi saat mengambil nira dari pohon kelapa, dan lamanya proses memasak nira sampai menjadi gula kelapa sepertinya menjadi alasan mengapa tinggal generasi tua yang masih menekuni pekerjaan ini.
Selain itu juga tidak ada jaminan jika terjadi kecelakaan kerja. Tidak sedikit pula masyarakat di sini yang tewas, maupun patah tulang akibat terjatuh dari pohon kelapa.
Geografis dan Sosial Ekonomi
Desa Tanjungsari, Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis, terletak di wilayah perbatasan antara Jawa Barat dan Jawa Tengah. Maka tak heran jika para penduduk di sini menggunakan bahasa jawa dan sunda dalam percakapan sehari-hari.
Mata pencaharian masyarakat di sini bisa dibilang bermacam-macam. Meski sebagian besar memilih untuk bekerja di kota-kota besar terutama generasi mudanya. Yang memilih untuk tetap menekuni pekerjaan di kampung melakukan apa saja asal dapur tetap bisa mengepul.
Namun ketika musim panen tiba, pekerjaan yang biasa dilakukan bisa mereka tanggalkan agar bisa ikut menjadi buruh tani (panen) karena bagi mereka ketika panen tiba tidak hanya menjadi berkah bagi si pemilik sawah namun juga bagi para buruh tani ini.
Maka setiap pagi di pinggiran sawah sudah ramai orang yang menunggu si empunya sawah atau orang yang menjadi kepercayaannya masuk ke sawah dan menjadi tanda bahwa mereka sudah boleh memangkasi batang-batang padi yang sudah merunduk itu.
Bahkan ada yang mulai memotong padi saat matahari belum muncul dan selesai bekerja hingga hampir tengah malam tiba dengan menggunakan lampu penerang patromak. Dari setiap 8 kilo gabah yang didapat, mereka mendapatkan 1 kilo dari pemilik sawah.
Di sini dan mungkin di desa-desa penghasil padi lainnya di Indonesia, padi menjadi barang yang bisa dibilang sangat "liquid", karena saat mereka membutuhkan uang, padi bisa dijual dengan cepat.
Desa kami termasuk desa tertinggal, dari segi infrastruktur jalan desa saja sepanjang saya bisa mengingat baru dua kali mendapat perbaikan aspal.
Desa kami dibentengi oleh pegunungan, maka saya gambarkan saja jika wilayah desa ini memiliki wilayah hulu-hilir. Beruntung bagi saya yang tinggal di hilir tidak terlalu kesulitan menempuh jalan bebatuan jika hendak menuju kota kecamatan.
Namun bagi masyarakat yang tinggal di "gunung" (hulu)—maka bayangkan bagaimana jalan yang terjal penuh bebatuan cadas harus mereka lalui.
Sebab itu tidak heran rata-rata masyarakat "gunung" hanya sebulan sekali saja mengunjungi kota kecamatan untuk berbelanja kebutuhannya.
Saking begitu sulitnya akses, ada semacam sindiran, katanya bagi para pengemudi yang biasa mengendarai kendaran di kota jangan coba-coba menempuh jalan ke sana, walapun mereka begitu mahir berkendara di jalanan kota, belum tentu bisa menaklukan jalan ke sana.
Buku dan Infrastruktur
Ada yang bilang jika pendidikan adalah alat untuk memutus mata rantai kemiskinan. Biaya pendidikan yang tidak murah menjadi perjuangan luar biasa bagi mereka yang berpenghasilan pas-pasan apalagi di kampung yang sangat minim lapangan pekerjaan.
Dengan kondisi demikian, maka tak semua anak desa ini bisa menyelesaikan pendidikan sampai jenjang sekolah menengah atas. Instrumen penting dalam hal transfer ilmu pengetahuan adalah buku.
Banyak survey yang menyajikan data-data mengenai tingkat minat baca masyarakat kita yang rendah. Harga buku yang terbilang mahal bagi masyarakat kita memperparah kondisi ini.
Membayar biaya sekolah saja masih sulit apalagi membeli buku bacaan. Taman bacaan masyarakat adalah wadah di mana anak-anak, remaja usia sekolah juga masyarakat umum bisa mengakses buku dengan gratis.
Sudah lama saya bermimpi jika di desa ini bisa dibangun sebuah taman bacaan masyarakat agar anak-anak dan remaja sebagai generasi penerus memiliki wawasan yang luas dan mampu beradaptasi di tengah tantangan gobal yang semakin ketat.
Harapannya dengan membaca buku anak-anak tidak hanya sekolah, tamat, lalu melamar pekerjaan di pabrik, karena bekerja di pabrik masih menjadi primadona bagi masyarakat di sini. Tetapi buku mampu menggapai hal lain dari sekadar menjadi buruh.
Pengadaan Infrastuktur jalan dan fasilitas pendidikan yang layak serta rumah sakit masih menjadi tantangan terberat negara ini. Sementara jalan menjadi hal vital dalam memenuhi kebutuhan kehidupan masyarakat baik itu dari segi ekonomi, kesehatan maupun pendidikan.
Anak-anak usia sekolah di sini harus "turun gunung" jika hendak ke sekolah, sebab, sekolah yang terdekat teletak di kampung "bawah". Begitu pula dengan akses fasilitas ekonomi seperti pasar yang hanya terletak di kota kecamatan, begitu juga dengan fasilitas kesehatan.
Beberapa bulan lalu ada kabar yang cukup miris karena seorang ibu yang sedang hamil harus melahirkan di perjalanan menuju klinik bidan. Dan ironinya sang bayi yang baru dilahirkan itu nyawanya tidak dapat terselamatkan.
Maka saya pikir seharusnya akses jalan desa ini bisa menjadi perhatian pihak terkait demi terpenuhinya kebutuhan masyarakat. Saya sendiri jadi membayangkan bagaimana begitu sulitnya kehidupan di desa terpencil lainnya di Indonesia.
Beberapa waktu lalu, dalam kunjungannya di Belanda, di hadapan WNI di sana, Presiden Jokowi mengatakan, sedang menggenjot pembangunan infrastruktur secara besar-besaran dan massif dari Aceh hingga Papua.
Semoga inisiatif mulia itu tercapai, dan pada realisasinya tidak ternodai oleh praktik korup sebagaimana kerap terjadi, sebab alih-alih kata "desa" saja yang tertinggal, tetapi kita sebagai sebuah negara!
Astuti
Iluni IAILM, Pondok Pesantren Suryalaya, Tasikmalaya
astutimustaqim07@gmail.com